Rabu, 13 Agustus 2008

KRITIK PERS GENDER TERHADAP EMPAT TEORI PERS GLOBAL

Setelah belasan tahun dibicarakan kalangan terbatas, ketidakadilan (dan ketidaksetaraan) berdasarkan perbedaan jenis kelamin sosial (gender) akhirnya menjadi wacana publik. "Gender" telah menjadi semacam "isu yang seksi" di dunia, mengutip ucapan Jody Williams, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 1997 saat berbicara dalam seminar Gender and Media pada Fukuoka International Women's Forum 2000 di Fukuoka, Jepang, 19-24 Oktober 2000.Beberapa waktu terakhir ini hampir setiap hari media massa memuat pernyataan pemerintah yang berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender, tetapi pada berita-berita lain, disadari atau tidak, ideologi yang merendahkan perempuan, terus muncul dalam pemilihan gambar, kata (diksi) dan seluruh visi berita. Media massa secara umum juga terus menggunakan perempuan sebagai komoditas; obyek seks dan kekerasan, entah melalui gambar, maupun pemberitaan.
Gambaran umum media massa di Asia mengenai perempuan saat ini masih tidak jauh dari apa yang dikuatkan budaya patriarkh: secara kodrati perempuan kurang pandai dan secara fisik perempuan adalah makhluk rapuh, lemah, dan karenanya harus dilindungi. Sepintas, notion palsu ini seperti menempatkan perempuan pada posisi aman karena "terlindungi". Tetapi, sebenarnya seluruh stereotipe baku yang menempel pada manusia berjenis kelamin sosial perempuan itu secara ideologis justru melemahkan seluruh eksistensinya sebagai manusia.
Hal ini akan segera tampak dari bagaimana, misalnya, media memotret tindak kriminal yang melibatkan perempuan, baik sebagai korban, maupun sebagai pelaku; judul-judul sensasional, melemahkan dan berkonotasi negatif, juga pemilihan kata dalam badan berita.
Tingkah laku media massa pada posisinya sebagai the fourth estate--karena otoritasnya menggalang dan membentuk opini publik dalam persoalan ketidakadilan gender melalui pemberitaan ini tengah disoroti berbagai pihak, dan menjadi bahan analisis lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemantauan media (media watch). Hal sama juga menjadi pokok bahasan dalam seminar Media and Gender di Fukuoka, Jepang. Empat panelis dari Korea, Thailand, Hongkong, dan Indonesia, sepakat menyatakan, bahasa jelas bukan merupakan sesuatu yang tanpa maksud. Persis seperti yang disebut George Orwell sebagai "wacana baru" (newspeak), bahasa bukanlah sekadar alat komunikasi. Ia merupakan suatu kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada keadaan sosial tertentu.
Bahasa (baik dalam huruf dan gambar) ikut mengonstruksikan perempuan dalam posisinya sebagai the second class citizen karena perempuan merupakan the second sex1. Bahasa juga merupakan wilayah di mana rasa tentang diri, subyektivitas, termasuk definisi tentang perempuan dan laki-laki serta apa yang baik dan buruk dari masing-masing jenis ini dibentuk2,. Hal ini terjadi karena bahasa adalah kekuatan, pertentangan, pergulatan. Bahasa adalah senjata sekaligus penengah, racun sekaligus obat, penjara sekaligus jalan keluar, kata Terry Eagleton dalam What is Ideology (1991) Bahasa juga adalah situs bagi dampak-dampak ideologis yang memiliki kekuatan dahsyat untuk membentuk perilaku pembacanya. Dengan demikian pembicaraan mengenai ideologi tidak mungkin dilepaskan dari pembicaraan mengenai bahasa. "Di media massa di Hongkong, perempuan digambarkan sebagai mistress sekaligus martir, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai anggota geng dan kriminal," papar Carmen Poon Lai-King (37), redaktur Next Magazine, Hongkong. "Salah satu yang paling ekstrem adalah kasus eksploitasi perempuan korban pembunuhan," papar Carmen.
Perempuan itu bernama Chow Lai-fong, dibunuh tengah malam tanggal 9 April 1999. Tubuh yang dipotong menjadi dua bagian itu ditaruh di kardus dan diketemukan keesokan harinya. Pada tanggal 11 April 1999, hampir semua surat kabar memuat berita itu di halaman I. Beberapa media memilih gambar tubuh bagian bawah perempuan malang itu, disertai peta waktu yang mendeskripsikan kejadian itu, "Seakan-akan pembunuhan itu sendiri merupakan suatu kerja seni," ujar Carmen seraya memperlihatkan kliping-kliping koran tersebut. "Bayangkan bagaimana Anda melihat gambar-gambar seperti ini ketika makan pagi. Saya hampir muntah, bukan karena jijik, tetapi lebih karena marah. Saya merasa media telah melakukan perkosaan ulang terhadap perempuan korban dan memaksa pembacanya tunduk memenuhi kehendak itu," tegas Carmen.
Ia menganggap media telah melakukan pengintipan untuk hal yang paling personal dari tubuh perempuan. "Aspek terburuk dari media di Hongkong adalah praktik seperti pemburu berdarah dingin yang rakus mengejar perempuan sebagai obyek seks dan kekerasan," lanjutnya. Potret perempuan sebagai obyek seks dan kekerasan juga digarisbawahi panelis dari Indonesia, Thailand, dan Korea. Kasus tidak terlalu ekstrem muncul setiap hari dengan model, bintang film dan selebriti yang difoto memakai rok sangat mini dan ketat, blus dengan belahan dada rendah. Selain pemilihan kata yang menegaskan kesan merendahkan, angle paling favorit sebagian wartawan foto, menurut Carmen adalah bagian di antara payudara perempuan dan di antara kedua pahanya.
"Mengapa harus bagian-bagian itu yang ditonjolkan melalui intipan kameranya? Apakah karena bagian tubuh perempuan yang tersembunyi itu dianggap lebih menggairahkan? Apakah itu merupakan nafsu-nafsu tersembunyi dari para pengambil gambar? Atau merupakan keinginan yang ditekan untuk mengontrol perempuan dan media dengan segera membaui rahasia ini dengan memperkuat kelainan kolektif tersebut?" lanjut Carmen.
Sebagai konsekuensi dari anggapan mengenai perempuan sebagai obyek seks, dua hal paling populer dalam cerita sampul media cetak di Hongkong adalah perempuan pengusaha yang sukses dan perempuan selebriti seperti model, bintang layar kaca, dan layar perak. "Ronnie Yip adalah bintang porno ringan pada awal tahun 1990-an," ujar Carmen. Ronnie kemudian meninggalkan industri film, menikah dan melahirkan anaknya tahun lalu. Hal yang mengesalkan Carmen, sebagai wartawan sekaligus ibu satu anak, adalah para wartawan yang meliput peristiwa kelahiran itu lebih menujukan pertanyaannya pada bagaimana Ronnie mempertahankan keindahan payudaranya.
"Media tidak peduli pentingnya memberikan air susu ibu pada bayi, tetapi mengenai payudaranya karena sebelumnya ada rumor Ronnie melakukan operasi plastik untuk payudaranya," ujar Carmen, seraya melanjutkan, potret Ronnie sebagai obyek seks merupakan pilihan untuk meningkatkan tiras penjualan dibandingkan Ronnie sebagai perempuan dan ibu yang baru saja melahirkan bayinya. Sementara pembaca hanya punya dua pilihan, yakni membeli atau tidak membeli; bukan untuk berpikir kritis. Mereka dibuat yakin bahwa apa yang disodorkan media merupakan kebenaran mutlak.
Potret umum lainnya untuk perempuan dalam media massa di Hongkong, menurut Carmen, adalah sebagai martir. Istilah lain untuk maksud sama yang digunakan oleh panelis dari Korea, Indonesia, dan Thailand adalah the glory of suffering atau memandang pengorbanan oleh perempuan sebagai tugas mulia.
"Ini merupakan konsekuensi dari stereotip yang dipegang kukuh oleh masyarakat bahwa perempuan lebih mau berkorban, lemah lembut, bertanggung jawab memelihara, merawat serta melindungi keluarganya," sambung Oh Geum-A (28) dari The Pusan Daily News, Korea. Maka, kalau bukan sebagai obyek seks dan obyek kekerasan, potret perempuan dalam media massa adalah berubah secara ekstrem, yakni sebagai "perempuan yang melawan dominasi patriakh seperti pejuang di rimba Amazon" seperti dikatakan Oh Geum-A, atau sebagai "pejuang yang dahsyat", yang dikatakan Carmen sebagai "Membebaskan diri dari peran tradisionalnya di rumah". Mereka memiliki peran baru seperti Joan d' Arc, sang martir, dengan mengorbankan kebahagiaan dirinya untuk kepentingan politik sang suami.
"Dalam pemilu untuk kursi legislatif, media memotret para politisi itu bersama istri mereka. Lalu diberikan ruang luas untuk komentar para istri terhadap kemenangan suaminya," ujar Carmen, "Para istri itu dilihat sebagai pendukung setia suami, bukan dirinya sendiri." Sementara itu, perempuan politisi yang menang berdiri sendiri tanpa suami mereka. "Tak satu pun media menghiraukannya, seakan-akan bukan hal yang pantas diliput," papar Carmen.
Sebagai hasil pandangan umum bahwa politik merupakan "dunia laki-laki", jumlah perempuan politisi dan perempuan yang berada di pusat-pusat pengambilan keputusan di Hongkong jumlahnya satu berbanding empat dengan laki-laki rekannya. Angka ini masih jauh lebih baik dibandingkan Korea yang hanya 6,2 persen atau satu berbanding 16, Thailand 10 persen, dan Indonesia delapan persen. "Secara umum tulisan mengenai pekerja seks di Thailand, misalnya, lebih memaparkan pengorbanan perempuan demi kebahagiaan keluarganya. Maksudnya mungkin memberikan empati, tetapi sebenarnya menjebak untuk memuliakan pengorbanan perempuan. Ini justru memperlemah posisi perempuan yang sudah lemah di masyarakat," ujar Chumcan Chamniprasart (30) dari harian Khoosad, Bangkok, Thailand.
Upaya pemberdayaan yang diterjemahkan secara keliru dalam media massa juga terjadi di Korea. "Kemajuan perempuan di Korea ditulis secara berlebihan dengan mengetengahkan tingginya jumlah perempuan yang menjadi guru dan perawat. Situasi ini memperlihatkan bias gender dalam penulisan dan pemilihan angle. Juga berarti feminisasi dunia pendidikan dan keperawatan; yang sebenarnya juga merupakan perpanjangan dari tugas-tugas domestik perempuan," tegas Oh Geum-A.
OH Geum-A sependapat dengan Chumcan, bahwa peningkatan jumlah perempuan wartawan akan membuat pelaporan yang lebih seimbang dan adil tentang perempuan. "Jumlah perempuan wartawan di Korea hanya sekitar 13,7 persen," ujar Geum-A. Jumlah yang kurang lebih sama di Thailand dan Indonesia. Sedangkan di Jepang seperti dipaparkan Masako Katsuki (36) dari Nishi-Nippon Shimbun, hanya 10,2 persen.
Akan tetapi, hal itu juga tidak bisa menjadi jaminan. "Sekitar 80 persen wartawan di Hongkong adalah perempuan, tetapi mereka mengadopsi seluruh pola pikir maskulin dalam penulisan berita, karena berita kriminal, politik dan ekonomi identik dengan maskulinitas karena para redaktur adalah laki-laki," jelas Carmen. "Kalaupun mereka menulis tentang soal kesejahteraan atau mengenai perempuan, mereka menggunakan cara pandang laki-laki sehingga bukan tidak mungkin perempuan menulis kata-kata yang meremehkan kaumnya sendiri," ia melanjutkan.
Kalau perempuan menduduki posisi-posisi kunci dalam media massa pun, masih belum memberikan jaminan bahwa pemberitaan yang seimbang, tidak bias gender dan lebih memberikan empati pada perempuan, bisa diwujudkan. Panelis dari Indonesia mengatakan, satu-dua perempuan yang menduduki posisi tinggi dalam media massa akan segera menjelma menjadi "the industrial being" atau manusia industri yang lebih banyak berpikir soal untung-rugi.
"Seluruh persoalan ini di dalam media massa tidak terlepas dari struktur modal yang kapitalistik," sambung Chumcan. "Menjadi naif kalau kita hanya berpikir mengenai teori jurnalistik," tegasnya. Namun, dalam jurnalistik pun sebenarnya dikenal apa yang disebut sebagai good taste dan bad taste, meski pemilihannya, sekali lagi, tergantung pada ideologi pekerja pers-nya, khususnya mengenai perbedaan jenis kelamin sosial itu.
Oleh karena itu, yang menjadi soal bukanlah sekadar jumlah perempuan wartawan, tetapi bagaimana menyosialisasikan ideologi yang lebih adil kepada anggota redaksi dan para pemimpin media massa. Terutama juga bagaimana memberitahu para pemilik modal bahwa gerakan mencapai keadilan dan kesetaraan dalam pemberitaan media massa sudah semakin universal sifatnya.
1 Haig A Bosmajian dalam The Language of Oppression (1983)
2 Christ Weedon

Tidak ada komentar: